“Pisuhe Sicing” merupakan singkatan – meminjam bahasa prokem ala Betawi – semau gue lu peduli ape. Itu singkatan selera spontanitasku kepada Mas Agus, seorang siswa kelas tiga SMK Kanisius Ungaran yang tinggal di Pastoran (rumah pastor) Ungaran.
Sepulang dari Kampus Unika Soegijapranata Semarang sesudah menembus arus lalu lintas Semarang-Ungaran, tiba di pastoran, tiba-tiba perutku terasa lapar.
Kepada Mas Agus saya bertanya, “Mas Agus, ngerti ‘pisuhe sicing’ ndak?” “Ndak tahu. Apa itu?” Jawabnya dan ganti bertanya. “Itu singkatan: kopi susu jahe nasi kucing.” Jawabku.
Lalu, kepadanya kuberikan tiga lembar lima ribuan rupiah. “Cukup nggak?” Tanyaku. “Cukup!” Jawabnya.
Tak lama kemudian sesudah melangkah ke Angkringan Nasi Kucing yang ada di depan Gereja Kristus Raja yang dikelola oleh Mas Dodok, Agus sudah kembali membawa tiga bungkus nasi kucing sambal teri, segelas kopi susu jahe dan tiga butir tahu bacem serta dua gorengan entah apa namanya. Bukan bakwan bukan pula mendoan.

Bahagiaku menikmati nasi kucing, murah meriah. Pemilik hak cipta (Sumber: Dok Pribadi)
Kami pun segera menikmatinya dengan bahagia. Itulah sejenis kebahagiaan murah meriah namun tentu sehat dan halal. Bandingkan dengan kebahagiaan yang bersumber dari jenis masakan restoran yang sekali pesan untuk satu orang bisa seharga ratusan ribu itu!
Inilah misteri kehidupan. Kita bisa bahagia sesudah makan kenyang seharga Rp. 15.000,00 untuk berdua dengan menu “Pisuhe Sicing”. Masih pula ditambah tiga butir tahu dan dua jenis gorengan. Syukur kepada Allah!***
Gambar Sampul: Bahagiaku menikmati nasi kucing, murah meriah!