Ke Yogyakarta
aku beranjangsana
di Pendapa Tamansiswa
warisan Ki Hadjar Dewantara.
Ke Yogyakarta
aku beranjangsana
memenuhi undangan berharga
dari Kangmas Widihasto Wasana Putra
sebagai panitia penyelenggara.
Acara pentas gita dan wayang kancil diselenggarakan dalam bingkai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Mas Hasta, DIY harus bisa mempresentasikan hadirnya kualitas sumber daya manusia Yogyakarta yang unggul dan kompetitif berbasis nilai-nilai keadaban luhur yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Dalam rangka itulah Pokja Penguatan Lembaga Pengelola dan Pelestari Warisan Budaya Dinas Kebudayaan DIY menggelar “Gelar Budaya Keistimewaan dan Dialog Budaya” bertemakan “Pembangunan Karakter Sebagai Basis Keistimewaan DIY” (Rabu 15 November 2017).

Pemilik hak cipta
Tentu saja, aku sangat mendukung peristiwa ini. Itulah sebabnya, aku berangkat dari Semarang ke Yogya dengan hati senang. Lagi pula, aku ingin belajar dari para narasumber hebat. Ada KRT Gondohadiningrat, Penghageng Kasultanan Yogyakarta; Dr. Sri Ratna Saktimulya, M. Hum, Kaprodi Sastra Jawa FIB UGM dan kepala perpustakaan Kadipaten Pakualaman; Ki Priyo Dwiarso, anggota Majelis Luhur Taman Siswa dan ada pula Sri Wahyaningsih, praktisi pendidikan alternatif dari Sanggar Anak Alam Nitiprayan Kasihan Bantul. Mereka berbagi pengalaman dan perspektifnya mengenai pembangunan karakter di kalangan generasi muda.
Gelar Budaya Keistimewaan dibuka dengan penampilan pentas Langen Gita berjudul “Ambuka Raras Angesthi Wiji”. Langen Gita merupakan pentas seni gabungan 90 orang siswa Tamansiswa dari Taman Indria sampai dengan Taman Madya (TK, SD, SMP, SMA) dan mahasiswa UST (Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa) yang memadukan semua unsur puncak-puncak pendidikan kesenian yang dilakukan di Perguruan Tamansiswa. Ditampilkan pula dolanan anak, langen carita, pencak silat, operet, geguritan, tari, menyanyi dan paduan suara.
Tulisan “Ambuka Raras Angesti Wiji” terpahat di anak tangga pendapa agung Tamansiswa yang bermakna “Menyanyi, Nembang, Berkesenian Merupakan UjungTombak Mendidik Anak.”
Inilah warisan Ki Hadjar Dewantara, yakni pendidikan anak dengan menggunakan metode berkesenian. Itu diciptakan untuk membentuk karakter watak dasar budi pekerti anak yang diyakini mampu mengiringi anak hingga tumbuh dewasa. Konsep ini dinamakan Ki Hadjar Dewantara sebagai “Metode Sariswara,” yakni metode yang memberikan pengalaman lengkap kepada seluruh indra pendengar, olah gerak, penglihatan dan perasaan, atau cipta-rasa-karsa.

Referensi pihak ketiga
Gelar Budaya Keistimewaan dipungkasi dengan pertunjukan pentas wayang kancil dengan lakon Perang Banyu oleh Ki Dalang Dr. Eddy Pursubaryanto, M. Hum dari FIB UGM. Ki Eddy Pursubaryanto disebut banyak kalangan sebagai dalang pewaris kesenian wayang kancil sepeninggal Ki Ledjar Subroto.
Menurut Kangmas Hasta, pentas wayang kancil sengaja dipilih mengingat kesenian yang sarat moral cerita ini terbilang jarang dipentaskan. Terima kasih Kangmas Hasta atas undangan yang membahagiakan ini. Sukses selalu dalam mewartakan budaya dan peradaban kasih bagi masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya.
Aku bahagia
bisa ke Yogyakarta
mereguk limpahan budaya
bersama warga masyarakat sederhana
yang bersukacita
menikmati langen gita.***
Sumber data: Press Release yang disampaikan Kangmas Widihasto Wasana Putro.
Sumber https://idstory.ucnews.ucweb.com/story/1133502346381849?uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvnwpflameefutch&url_from=wmconstomerwebsite&stat_entry=personal&comment_stat=1