Sejak tanggal 18 Januari hingga tanggal 25 Januari 2018, saya menikmati kehidupan bersama yang rukun dan damai, khususnya secara ekumenis. Dalam pandangan teologis Katolik, terdapat dua kehidupan bersama yang rukun dan damai. Pertama disebut kerukunan dan perdamaian ekumenis. Kedua, kerukunan dan perdamaian interreligius. Apa artinya, dan apa bedanya?

Para Ibu-Bapak Pendeta dan Pastor Katolik dalam Ibadat Ekumene di Karangpanas Semarang (18/1). Pemilik hak cipta: Aloys Budi Purnomo Pr
Kerjasama dalam rangka hidup bersama yang rukun dan damai secara ekumenis berarti kerjasama yang dilakukan oleh semua umat Kristiani, apa pun denominasinya. Kerukunan ekumenis berarti kerukunan antara Gereja-Gereja, baik itu Gereja Katolik dengan berbagai denominasinya (misalnya Barat/Latin, Timur/Ortodoks, Anglikan) maupun Gereja-Gereja Protestan/Reformasi (misalnya GKI, GKJ, HKBP, Pentakostal). Kerjasama inilah yang diserukan sejak 1908 melalui gerakan Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani. Ini masuk ke dalam kategori kerjasama kerukunan dan damai secara ekumenis.
Sedangkan kerjasama kerukunan dan damai secara interreligius berarti kerjasama antara Gereja Katolik dengan Umat beragama lain, yakni Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Aliran Kepercayaan. Kerjasama ini sudah banyak terjadi dan menyangkut kehidupan yang luas dan mendalam melalui seni, budaya, dan karya kemanusiaan. Perjumpaan-perjumpaan silaturahmi dan kerjasama dengan para Ulama, Kiai, Habib, Ustadz, Bante, Rohaniwan agama-agama lain masuk dalam kategori kerjasama interreligius. Semua memiliki tujuan yang satu dan sama yakni membangun kehidupan yang rukun dan damai.
Itulah yang saya syukuri melalui tulisan kecil ini, sekaligus sebagai sebuah catatan reflektif di tengah perjalanan Pekan Doa Sedunia, 18-25 Januari. Pada tanggal 18 Januari 2018 yang lalu, kami membuka rangkaian Pekan Doa Sedunia dengan Ibadat Ekumene di Gereja St. Athanasius Karangpanas, Semarang. Sebanyak 14 Bapak dan Ibu Pendeta ikut serta di dalamnya. Yang istimewa adalah, ada sebelas Pastor Katolik yang ikut serta. Dalam pengalamanku selama sembilan tahun menyelenggarakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani, ini adalah rekor, yakni terbanyak diikuti oleh Pastor Katolik. Syukur kepada Allah.
Hal yang sama juga terjadi di Gereja Gereformeerd Semarang. Dalam lima tahun terakhir, mereka berkenan menyelenggarakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani, tahun ini, yakni pada tanggal 22 Januari 2018, juga diikuti Ibu Bapak Pendeta dan Pastor Katolik. Ini juga terbanyak dalam lima tahun terakhir, ada 16 Ibu Bapak Pendeta dan ada 4 Pastor Katolik. Luar biasa istimewa. Puji Tuhan.
Yang layak pula untuk disyukuri adalah ini. Jumlah Gereja dan Paroki yang menyelenggarakan Ibadat Ekumene dalam rangka Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani juga bertambah. Mulai dari Gereja Karangpanas (18/1), Gereja Solo Baru (20/1), Gereja Gereformeerd Semarang dan di Salatiga (22/1), Gereja Kalinegara Magelang (23/1), Gereja Kidul Loji Yogyakarta (24/1), Gereja Bongsari Semarang, Gereja Ungara, Gereja Gubuk dan Gereja Wedi (25/1). Itu catatanku sejauh kuterima, Gereja-Gereja yang menyelenggarakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani.

Ibadat Ekumene di Solo Baru (20/1). Pemilik hak cipta: Aloys Budi Purnomo Pr
Melihat jumlah para Pastor dan Ibu Bapak Pendeta yang terlibat di dalamnya, saya sangat bahagia dan bersyukur. Sebagai inisiator gerakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani di Keuskupan Agung Semarang, saya sungguh merasa terharu dan bersyukur.
Saya ingat, sembilan tahun yang lalu, saat saya memulai dan menawarkannya, kami hanya mulai berdua dan bertiga, yakni saya dengan mendiang Pendeta Nafsun dari GKJ Banyumanik, lalu dengan Pendeta Ronny dari GIA Pringgading kala itu, dan kemudian terus berkembang. Di Kota Semarang sendiri, Ibadat Ekumene dimulai dari Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (tempat saya bertugas dan memulai gerakan ini), lalu di Gereja Kebon Dalem (saya juga bertugas di sini), Gereja St. Mikael Semarang Indah, Gereja St Paulus Sendangguwo. dan Gereja St. Athanasius Karangpanas. Di Kabupaten Semarang, penyelenggaraan dilakukan di Gereja Kristus Raja Ungaran. Di Salatiga di Gereja Kristus Raja Tegalrejo. Di Kedua dilaksanakan di Gereja St. Ignatius Magelang, di Gereja Muntilan, di Mertoyudan, dan di Kalinegoro. Di Solo dilaksanakan di Gereja Solo Baru. Di Yogya dilaksanakan di Gereja Kidul Loji dan Pringgolayan. Itulah tempat-tempat dari Gereja Katolik yang pernah menyelenggarakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani daam sembilan tahun terakhir ini.
Tahun depan, 2019, menandai cita-cita menjadikan Kevikepan sebagai Pusat Pelayanan, maka saya memimpikan bahwa Gereja-Gereja di empat kevikepan di Keuskupan Agung Semarang, bisa menyelenggarakan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia ini secara lebih meriah dan istimewa, melibatkan banyak paroki dan umat serta Gereja-Gereja lain. Tentang hal ini, salah satunya, sebelum mengikuti Ibadat Ekumene di Gereformeerd (22/1), saya sudah berbisik kepada Romo AG Luhur Prihadi Pr, Vikaris Episkopalis Semarang, agar tahun depan Ibadat Ekumene Pekan Doa Sedunia, entah saat Pembukaan atau Penutupan, bisa dilaksanakan di Gereja Katedral Semarang. Itu mimpi dan harapanku.
Itulah beberapa catatan sederhana terkait kehidupan yang rukun secara ekumenis yang saya syukuri sesudah sembilan tahun memulai, menjaga, merawat dan memperkembangkannya. Semoga terus menjadi salah satu cara membangun kehidupan Gereja yang srawung, inklusif, inovatif dan transformatif dalam mewujudkan peradaban kasih bagi masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun Agamanya dan Gerejanya.***
Sumber https://idstory.ucnews.ucweb.com/story/2027934903662881?uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvnwpflameefutch&url_from=wmconstomerwebsite&stat_entry=personal&comment_stat=1