Sahabat Peradaban Kasih UC News yang terkasih, sebagai seorang yang beragama Katolik, dan sejak tanggal 8 Juli 1996 ditahbiskan menjadi Imam/Pastor dalam Gereja Katolik, saya bersyukur mendapatkan inspirasi tentang sengsara Yesus dan salib-Nya melalui inspirasi puisi dari seorang penyair yang beragama Islam. Saya sangat terkesan pada satu puisi yang selalu membantuku untuk belajar menyelami sengsara Yesus dan salib-Nya dari Sang Penyair yang bernama Chairil Anwar. Kok bisa sih?

Referensi pihak ketiga
Puisi Chairil Anwar sangat membantuku dalam merenungkan kasih Yesus dalam sengsara dan salib-Nya. Puisi itu dibuat oleh seorang penyair hebat di masa lalu. Namanya Chairil Anwar. Ia beragama Islam, namun menghadirkan puisi yang penuh makna dalam agama Kristiani (Kristen Katolik dan Kristen Protestan, apa pun denominasinya). Sebagai seorang Pastor Katolik, saya sangat terbantu untuk menyelami kisah sengsara Yesus. Mari kita baca sekali lagi puisi Chairil Anwar itu selengkapnya.
ISA
Kepada Nasrani sejati
Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah
rubuh/ patah
mendampar Tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata/ masa bertukar rupa Ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah
12 November 1943
Membaca puisi Sang Sastrawan Angakatan 1945 itu, hatiku terharu biru. Chairil Anwar yang beragama Islam, kubayangkan sedang memandang salib Yesus dan kemudian mengalirlah puisi indah berpusat pada “Tubuh yang rubuh dan patah, yang mengucur darah, mengucur darah”.

Referensi pihak ketiga
Bahkan, ia “berkaca dalam darah” yang membuat matanya melihat cahaya yang mengubah derita menjadi sukacita. Maka Chairil Anwar menulis “kulihat Tubuh mengucur darah, aku berkaca dalam darah. terbayang terang di mata, masa bertukar rupa Ini segara. mengatup luka. aku bersuka…“
Sungguh luar biasa, Chairil Anwar menggambarkan kisah sengsara Yesus yang membawa sukacita. Itulah yang kian meneguhkanku dalam mengasihi Yesus yang rela menanggung penderitaan umat manusia tanpa diskriminasi.

Referensi pihak ketiga
Dalam puisi Chairil Anwar, kutangkap pesan kuat makna itu, sehingga ia pun menghadirkan puisi itu yang bersifat abadi tak lekang oleh zaman yang digerus waktu. Semoga puisi itu menyentuh hati Anda juga.
Di dalam puisi itu, kutangkap samodera peradaban kasih yang bersumber dari darah mulia, tempat kita berkaca. Peradaban kasih itu mengubah derita menjadi sukacita, justru oleh Tubuh yang rubuh dan patah mengucurkan darah demi keselamatan seluruh umat manusia.
Terima kasih. Salam peradaban kasih. Tuhan memberkati.***
Johar Wurlirang, Jumat Agung 2018.
Sumber: refleksi pribadi berdasarkan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Isa”.