
“BUMI berdarah karena luka-luka yang ditimbulkan padanya oleh manusia yang tidak lagi selaras dengan Surga … Bumi berdarah dan lingkungan alami menderita secara tidak menyenangkan akibat gempuran manusial”.
Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya yang berjudul Religion & the Order of Nature (Nasr, 1996:3, 286). Jujur, hati saya tergetar saat membaca kalimat-kalimat itu. Meski ungkapan itu ditulis 10 tahun lalu, hingga kini masih tetap aktual, rele-van, bahkan semakin signifikan.
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf dan cendekiawan Muslim, profesor emeritus studi Islam di Universitas George Washington, Amerika Serikat. Nasr telah menggoreskan kalimat-kalimat tajam yang sangat mendalam. Dengan jiwa Islami yang rahmatan lil alamin, Nasr sedemikian mendalam memahami Bumi laksana kita, manusia yang bisa berdarah!
Enam, tahun sebelum menggoreskan kalimat-kalimat yang menggugah jiwa ekologis itu, Nasr sudah menuliskan bahwa kala itu, apalagi di zaman sekarang ini, dibutuhkan sinergi kolaboratif antara tradisi agama dan masyarakat untuk mengatasi ketidak seimbangan ekologis yang dari hari ke hari kian kritis.
Jika manusia ingin menyelamatkan diri dari bencana lingkungan, manusia harus menemukan kembali makna metafisik alam. Saat manusia menghancurkan alam, ia gagal menghayati kemanusiaannya. Menurut Nasr, tradisi Islam dan Kristianitas dapat saling memperkaya, karena mereka berasal dari akar Ibrahim (= Abraham) yang sama (Nasr, 1990: 13, 53-63; 1996:255) .
Berdarah dan menjerit
Seyyed Hossein Nasr menggambarkan bahwa Bumi berdarah. Yang digambarkan Nasr seakan diulangi dan ditegaskan oleh Paus Fransikus 5 tahun lalu saat menulis bahwa “Bumi kita menjerit kesakitan!”
Pada 18 Juni 2015, Paus Fransiskus memublikasikan Ensiklik Laudato Si’. Ensiklik ini sudah ditandatangani pada 24 Mei 2015. Namun, publikasi luas baru dilakukan per 18 Juni 2015. Sejak Mei 2020 yang lalu, peringatan atas 5 tahun Ensiklik Laudato Si’ dilakukan di seluruh dunia, tak hanya oleh orang Katolik, tetapi juga siapa pun yang peduli Bumi. Ensiklik Laudato Si’ memang unik sebagai ensiklik. Ia menjadi ajaran resmi seorang Paus yang ditujukan untuk semua orang, apa pun agama dan kepercayaannya, karena berisi pesan, ajakan, dan ajaran tentang merawat Bumi sebagai rumah kita bersama.
Merawat Bumi sebagai rumah bersama tak pernah memandang agama. Entah Seyyed Hossein Nasr yang beragama Islam maupun Paus Fransiskus yang beragama Katolik sama-sama peduli Bumi yang dirusak atas nama tekno-ekonomi yang membuat Bumi berdarah dan menjerit kesakitan.
Pastinya, semua agama dan kepercayaan mengajarkan kepada umatnya tentang pentingnya merawat Bumi yang sedang dan masih berdarah dan menjerit kesakitan karena perilaku manusia yang telah mengeruk, menambang, dan merusaknya atas nama keuntungan ekonomis belaka, dan mengabaikan masyarakat miskin, utamanya para petani dan generasi masa depan.
Sikap peduli Bumi yang berdarah dan menjerit kesakitan juga ditunjukkan masyarakat adat dan penghayat Kepercayaan. Di Jateng misalnya, kita mengenal saudari-saudara kita yang dikenal sebagai Sedulur Sikep.
Mereka pun memiliki semangat religius mendalam yang sangat menghormati Bumi sebagai Ibu Pertiwi. Itulah sebabnya mereka gigih membela Ibu Pertiwi beserta Tanah Air dan pegunungan agar tetap lestari.
Membela Ibu Pertiwi
Bumi adalah Ibu Pertiwi. Bekerja sama dengan banyak aktivis lingkungan, para tokoh lintas agama, dan masyarakat di Kawasan Pegunungan Kendeng Utara, mereka tak pernah lelah apalagi menyerah dalam membela Ibu Pertiwi.
Mereka tidak ingin Bumi disakiti. Sebab, Bumi telah memberi kita segala yang kita butuhkan bersama para petani yang mengolah tanah dan mengelola sumber mata air untuk menghidupi siapa saja dan apa saja yang membutuhkannya.
Kalau Seyyed Hossein Nasr berseru, Bumi berdarah karena ulah manusia yang serakah, dan Paus Fransiskus melantangkan jeritan Bumi yang tertimpa krisis ekologis; Sedulur Sikep menggemakan doa ekologis yang tak kalah menyayat jiwa. “Ibu Bumi wis maringi. Ibu Bumi dilaran. Ibu Bumi kangadili!” Itu adalah sikap membela Ibu Pertiwi.
Kehadiran Ensiklik Laudato Si seperti gayung menyambut keprihatinan yang disampaikan Nasr maupun Sedulur Sikep. Baik Nasr, Paus Fransiskus, maupun Sedulur Sikep menyerukan keprihatinan atas perilaku manusia yang tamak dan nafsu merusak Bumi demi keuntungan sesaat lalu melupakan generasi masa depan.
Mari kita bersama-sama merawat Bumi, rumah kita bersama. Maaf, jangan ndablek, mbudheg Ian micek. Mari mengubah sikap, membuka mata dan telinga untuk tidak bersikap serakah mengeruk perut Ibu Pertiwi.
Dari lubuk hati terdalam, mari mendengarkan jeritan Bumi yang tersakiti. Kalau Bumi adalah Ibu Pertiwi dan kita anak-anaknya, adalah suatu aib durhaka saat sebagai anak kita tega memerkosa Ibu kita sendiri.
►Tribun Jateng, 18 Juni 2020 hal. 2
Sumber http://news.unika.ac.id/2020/06/bumi-berdarah-dan-menjerit-kesakitan/