Hari Kamis (7/9/2017, pukul 07:02 WIB) Mas Syahrul Munir jurnalis kompas.com mengirim pesan melalui WhatsApp (WA) kepadaku yang juga seorang pastor dan jurnalis, “Romo hari ini milad Gus Dur. Kalau ada kenangan cerita-cerita unik dan menarik soal Gus Dur bisa dibagi Romo….” Bagiku, pesan itu merupakan pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur dan tulus ikhlas. Pertanyaan antara seorang jurnalis terhadap jurnalis lain yang juga seorang Pastor Katolik tentang mendiang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Hasil dialog itu pun dinarasikan Mas Munir menjadi dua artikel yang kemudian dilansir dalam laman ini. http://regional.kompas.com/read/2017/09/07/13330441/kenangan-pastor-budi-dengan-mendiang-gus-dur (Kamis, 07/09/2017) dan
http://regional.kompas.com/read/2017/09/07/15000031/-malam-malam-kangen-gus-dur-puisi-dari-seorang-pastor (Kamis, 07/09/2017). Sedangkana artikel berikut ini merupakan narasiku versi asli berdasarkan komunikasi melalui WhatsApp antara Mas Munir dan saya.
Gus Dur Bagiku
“Bagiku Gus Dur adalah sosok yang tak berteori tentang keberagaman, multikultarisme dan kebangsaan; melainkan seorang pelaku dan penghayat ketiganya berbasis keberimanannya sebagai seorang Muslim. Ia menghadirkan Islam sebagai sebagai rahmatan lil alamin bukan dalam tataran khotbah melainkan dalam olah perilaku dan tingkah,” begitu jawabku sekitar setengah jam kemudian, juga melalui pesan WhatsApp (Kamis, 07/09/2017)
Lebih lanjut kusampaikan begini, “Saya bersyukur boleh mewarisi dan turut berjuang untuk mewujudkan ketiga hal itu saat ini, khususnya bersama dengan keluarga besar Gus Dur. Lebih khusus, kerja sama dengan Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam rangka kebangsaan dan keberagaman yang berfokus pada kaum duafa dan rakyat. Itulah yang terjadi dengan kegiatan tahunan melalui buka dan sahur bersama yang beliau selenggarakan.”

Ibu Shinta (memegang mike) bersama rombongan dan saya (melambaikan tangan). Sumber Dok Pribadi yang pernah dimuat di sejumlah media online sesudah saya buat press release, antara lain di sesawi,net (20/06/2016).
Kusampaikan pula kepada Mas Munir – panggilan akrabnya – bahwa empat puluh sembilan hari setelah Gus Dur wafat, bersama Mbak Alisa Wahid, putri sulungnya dan Gus Umar saudara kandung Gus Dur, saya mendeklarasikan Gus Durian Semarang dan Jateng di Taman Budaya Raden Saleh Semarang, kala itu, dengan kawan-kawan lintas agama Semarang. Deklarasi itu kubacakan sendiri di hadapan warga masyarakat lintas agama yang hadir kala itu.
Kecuali itu, setiap tahun dalam rangka haul wafat Gus Dur, Keluarga Besar Ciganjur berkenan mengundang diriku ini untuk turut serta di dalamya. Ini menjadi momen yang istimewa terus merajut silaturahm bagiku bukan hanya denga keluarga Gus Dur tetapi juga para pecinta Bapak dan Pejuang Pluralisme itu.
Selanjutnya Mas Munir bertanya padaku, “Dialektika apa yang pernah dialami Romo Budi dengan Gus Dur?” Dengan jujur pertanyaan itu kujawab, “Dengan Gus Dur saya tidak berdialektika secara langsung selain melalui karya-karya tulisan beliau. Perjumpaan pertama dan terakhir di Pusdiklat Srondol dalam rangka Forkagama yang dirintis oleh Gus Nuril kala itu dalam rangka merawat kebangsaan dan keberagaman pada awal-awal saya tiba di Semarang, tahun 2004.”
Kusampaikan pula kepada Mas Munir, bahwa bagi saya, kematian Gus Dur justru melahirkan perjumpaan spiritual dan sosio-kultural melalui berbagai gerakan kebangsaan dan keberagaman yang bermuara pada kerukunan kesejahteraan dan keadilan. Saat ini, dibutuhkan lahirnya jutaan “Gus Dur” baru untuk bangsa dan masyarakat kita. Inilah tantangan kita bersama. Bahkan, itulah dalam arti tertentu, kado yang bisa kita hadiahkan kepada mendiang Gus Dur.
Mengakhiri dialog melalui WA dengan Mas Munir, kusampaikan pula satu puisi yang saya buat dan beberapa kali saya bacakan dalam event mengenang Gus Dur. Puisi itu kubuat saat aku masih bertugas di Kebon Dalem Semarang.
Dan inilah puisi itu yang kuberi judul:Malam-malam Kangen Gus Dur
Gus…,
malam ini tiba-tiba saya KangenPanjenengan…
Itu gara-gara Undangan
yang malam ini kuterima
tertaruh rapi
di atas meja makan Pastoran Pinggir Kali Kebon Dalem…
Ia tak sekadar kertas
melainkan Berkas penuh Berkah
saat saya boleh mengenang kehadiran Panjenengan
dalam membela siapapun
yang diperlakukan hina, nista dan tidak adil
oleh siapapun
yang bahkan menyerukan pekik
: Allahu Akbar…
dan Panjenengan lawan
dengan hakikat Islam sebagai rahmatan lil’ alamin.
Undangan itu penuh kehormatan
yang membuatku Tersanjung… Gus.
Undangan untuk sowan ke Ciganjur
dan melangitkan Kenangan dan Doa
dalam rangka Haul ke-5 Panjenengan Gus…
ya Panjenengan yang saat iningayomi
tak hanya Keluarga Besar Ciganjur
melainkan anak-anak negeri ini
dari Surga,
tempat Panjenengan menanti kami semua
Gus…,
Tiba-tiba “Syi’ir Tanpa Waton”
yang Panjenengan tulis dan hayati
mengalun lembut di hatiku
juga bersama Malam yang meloncat menuju Dini hari
Kuingat Perjuangan seumur hidup Panjenengan
agar negara dapat menjadi institusi
yang mengayomi keberagaman
seperti Panjenengan sendiri menghayatinya
Dan di malam seperti ini
Pastilah tak terlewatkan
bagaimana Panjenengan ber-Zikir tengah malam
berduaan dengan Sang Kekasih Jiwa-Raga
diiringi musik tabla dalam Hati yang Suci
menggapai mahabbah, kecintaan dan ketakdziman mendalam
kepada Nabi Muhammad
dan sujud di Hadirat Allah Gusti Pangeran
dan membuat Panjenengan tak hendak tidur
hingga Subuh bersama pagi yang luluh
Selamat malam menjelang pagi Gus
Doakanlah bangsa ini
agar kian menjadi bangsa penuh berkah
bagi setiap warganya dan sejahtera
seperti yang selalu Panjenengancita-citakan,
Selalu tanpa kendor
meski Panjenengan pun diserang teror
Hanya ini yang bisa kugoreskan
di remang-remang kerinduan saat hatiku KangenPanjenengan…
Selamat Malam menuju Pagi.
Biarlah demokrasi berlandaskan Hati
turut merekah bersama fajar di esok hari,
di seluruh waktu yang terus Melaju
Girli Kebon Dalem, 18/12/2014, pukul 00.56 WIB
Sementara dialog yang terjadi melalui WA antara Mas Munir dan diriku kutuliskan kembali menjadi sebuah kisah yang sekarang ini kuhidangkan sesuai versiku dalam sajian inspirational ini. Begitulah dialog dua jurnalis melalui WhatsApp tentang mendiang Gus Dur bias menjadi berita sesuai dengan versi masing-masing. Apa pun dan bagaimana pun versinya, semoga menjadi kabar baik dan bermanfaat pula bagi Anda di mana pun berada.***
Gambar sampul: Saat Ibu Hj Shinta Nuriyah Abdurrahmad Wahid menikmati alunan saksofonku dalam sebuah acara di Rasa Darma, Gang Pinggir Semarang. Sumber: Dok. pribadi.