Aku menerima anugerah cinta
dari sosok sahabatku tercinta
yang menghadiahkan dua buku sajak cinta
yakni Perjalanan 63 Cinta
dan Luka Cinta Jakarta,
dialah sahabat dan guru bersyairku
tentang cinta, Yudhistira ANM Massardi.
Tersanjung aku menerimanya, dalam haru biru jatuhnya daun-daun ketapang di dekat kamarku. Dua buku kumpulan puisinya mengetuk pintu jiwaku, saat mereka tiba di genggamanku. Aku menerimanya dengan bahagia, karena di dalamnya bertaburan cinta. Cinta seorang sahabat yang bermata tajam menangkap setiap gelagat kehidupan, lalu menuangkannya dalam sajak-sajak cinta.
Saat kubuka kedua antologi sajak cinta itu, pada lembar pertama terdapat goresan cinta dengan tulisan tangannya sendiri. Tertulis indah di sana, “Untuk Romo Budi yang sangat baik, dengan salam. Rayakan cinta! Salam dan bahagia.”

Pemilik hak cipta
Tulisan tangan yang jelas dan tegas itu memancarkan cinta yang jelas dan tegas pula sekuat baja namun selembut sutra. Tulisan tangan itu tertanggal 24 Oktober 2017. Itu berarti, tulisan cinta itu digoreskan tiga hari sesudah kami saling berjumpa dan menggelar bersama puisi-puisinya di Taman Budaya Raden Saleh Semarang, kala itu.
Maka, kuterima kedua buku itu laksana sepasang mata cinta, seperti sepasang telinga cinta, bagaikan sepasang kaki cinta. Bahkan, keduanya bak sepasang paru-paru cinta yang menggerakkan sepasang tangan cinta agar menjadi nyata dalam kehidupan yang sering terluka akibat tiadanya cinta.

Pemilik hak cipta
Terima kasih Mas Yudhis atas “Perjalanan 63 Cinta” dan “Luka Cinta Jakarta” yang membuatku tak hanya membaca, melainkan juga mengalami dan menikmati gairah cinta yang membara untuk umat manusia dalam setiap keberagamannya, dalam setiap keindahannya. Aku setuju dengan panjenengan, seperti tertuang dalam puisi Jakarta #18.
“Biarkan benci terkubur
Di tempat dulu ia ditabur
Biarkan Cinta bertahta
Di mahkota bunga…”
Gambar sampul: Tulisan tangan cinta Mas Yudhis bagiku. Sumber foto: Dok pribadi.