Inspiration

Kegagalan Dalam Ketaatan Yang Memerdekakan

Sahabat Peradaban Kasih UC We-Media yang terkasih, bukan kebetulan bahwa pada hari Senin (5/3/2018), Gereja Katolik merenungkan bacaan harian yang bila dibaca secara utuh dalam Injil diberi judul “Yesus Ditolak di Nazaret” (Lukas 4:16-30). Dalam kisah itu ada sejumlah paradoks yang bagus untuk direnungkan. Semoga bisa memberi kekuatan kita di saat kita mengalami paradoks kehidupan. Seperti apa?

Pemilik hak cipta: Aloys Budi Purnomo Pr

Pertama, kisah Yesus ditolak di Nazaret, di tempat asal dan kampung halamannya oleh St. Lukas ditempatkan di bagian awal Injil. Artinya, baru pertama kali tampil di depan publik, Yesus langsung ditolak oleh orang-orang sekampung-Nya. Seakan Yesus gagal di awal. Maknanya adalah, kegagalan merupakan paradoks yang selalu akan menyertai kita. Kita ingin berhasil namun justru sudah gagal di awal. Lalu harus bagaimana? Putus asa? Berontak? Marah? Jawabannya cukup satu kata: Tidak! Kita harus mencari alternatif yang terbaik. Pasti ada jalan yang terbaik!

Kedua, saya sangat terkesan dengan permenungan Bapak Uskup Mgr. I. Suharyo. Beliau memberi judul permenungan atas kisah itu “Ketaatan yang Memerdekakan”. Di sini juga ada paradoks. Sesuatu yang tampaknya berlawanan namun sesungguhnya tidak. Itu yang dimaksud dengan paradoks di sini. Dalam kata “taat” dan “merdeka” ada paradoks. Taat itu tampaknya membuat hidup kita seperti terbelenggu, namun sesungguhnya tidak, sebab kita tetap merdeka dalam ketaatan.

Ketiga, dalam keadaan yang secara manusiawi seperti gagal, Yesus belajar taat kepada kehendak Allah. Ketaatan itulah yang membuat Yesus menjadi pribadi yang merdeka dalam sikap yang lepas bebas. Begitulah, dalam kegagalan, tetap mengalir ketaatan yang memerdekakan. Gagal tidak membuat kita habis dalam tangisan pun ratapan, melainkan justru tetap membangun sikap yang optimis-penuh pengharapan akan segala kebaikan.

Keempat, kegagalan dalam ketataan yang memerdekakan membuat hidup menjadi lebih memiliki integritas. Kegagalan yang dihayati dalam ketaatan yang memerdekakan membuat kita memiliki integritas pribadi yang tidak berorientasi pada hasil. Yang dicari bukan pencitraan, melainkan kesetiaan dan ketekunan dalam pelayanan.

Akhirnya, pelajaran yang dapat kupetik adalah, bersama Yesus, saya terus harus bergembira dalam kesetiaan pelayanan, kendati bahkan harus gagal di awal. Kita tidak mencari pencintraan pribadi, tidak mengejar ambisi pribadi. Kita pun belajar setia berpegang teguh pada sikap lepas bebas dalam ketaatan bahkan kendati tampaknya dalam kegagalan pula.

Demikian, semoga permenungan ini bermanfaat. Salam peradaban kasih. Tetap semangat meski gagal. Kita maju dalam ketaatan yang memerdekakan. Terima kasih. Tuhan memberkati.***

Johar Wurlirang Semarang, 5/3/2018

Sumber: refleksi pribadi berdasarkan Lukas 4:24-30, terinspirasi oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Communitiy of Hope – Menjadi Murid Yesus Mewartakan Pengharapan, Obor: Jakarta, 2016, halaman 1-11.

Sumber
https://idstory.ucnews.ucweb.com/story/3173177793846013?uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvnwpflameefutch&url_from=wmconstomerwebsite&stat_entry=personal&comment_stat=1

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.