Sahabat Peradaban Kasih yang terkasih. Bagi yang merasa normal, mereka disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun sejujurnya, meski disebut ABK, mereka justru penuh berkat. Mengapa?

Referensi pihak ketiga
Memang dalam ranah dan sudut pandang tertentu, mereka disebut ABK, anak berkebutuhan khusus. Dari sisi fisik dan psikis, mungkin ada yang disebut difabel. Namun dari sisi spiritual, jangan salah ya, saya mengenal banyak di antara mereka yang memiliki dimensi spiritual yang dahsyat. Itu karena mereka selalu stabil dari sisi mental (psikis) sehingga hidup mereka sesungguhnya didominasi oleh sukacita, kebahagiaan dan kemerdekaan dibandingkan dengan manusia yang disebut atau menyebut diri normal.

Referensi pihak ketiga
Mungkin aspek kendali/kontrol diri (self-control) saja yang perlu mendapat pendampingan pada tahap usia tertentu, namun selebihnya; mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak pernah dibebani stres atau depresi. Itulah sebabnya mereka sedemikian ekspresif, merdeka dan bahagia.

Referensi pihak ketiga
Itulah refleksiku saat mendampingi Bapak Uskup, Mgr. Robertus Rubiyatmoko bersama Romo AG Luhur Prihadi Pr dan Romo FX Suyamto Pr dalam Misa bersama komunitas ABK di Sukasari Katedral Semarang. Luar biasa indah dan penuh berkah kehadiran dan pelayanan Bapak Uskup Mgr Rubi dalam hal ini. Peristiwa yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata ini menjadi istimewa di tengah keprihatinan bahwa tak sedikit di antara warga masyarakat abai dan tak peduli terhadap mereka. Padahal mereka ini sungguh penuh berkat meski mereka disebut ABK.

Referensi pihak ketiga
Proficiat dan terima kasih kepada rekan-rekan Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata atas kesempatan yang indah ini. Terima kasih juga kepada Bapak Uskup Mgr. Rubi yang peduli. Semoga peristiwa ini menjadi tambahan berkat bagi mereka yang sudah penuh berkat, meski mereka disebut ABK. Terutama, berkat bagi para orangtua mereka, berkat bagi keluarga mereka. Salam peradaban kasih. Tuhan memberkati kita semua.***