
Referensi pihak ketiga
Sahabat Peradaban Kasih yang terkasih. Rangkaian inspirasi kearifan lokal falsafah Jawa berikut ini sangat istimewa, tak hanya dari segi isi dan pesannya, melainkan juga dari yang mewariskannya. Maknanya teramat dahsyat, yang mampu menghayatinya pasti orang hebat dan akan menjadi berkat bagi umat dan masyarakat! Penasaran seperti apa? Mari kita simak bersama.
“Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tanpa susah, tan ana bungah. Anteng mantheng, sugeng jeneng. Durung unggul yen ora wani asor, durung gedhe yen ora wani cilik.”
[Kaya tanpa berharta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan. Menerima dengan pasrah, hening tanpa pamrih dan rasa takut, abadi tanpa duka dan pula tanpa sukaria. Tenang menghadapi masalah, tidak akan ada menang tanpa ada kerelaan mengalah, tiada jadi besar bila tidak berani menjadi kecil.]
Itulah kearifan lokal yang lahir dari sosok pribadi yang istimewa, yakni Eyang Sosrokartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini. Tokoh yang terlahir di Jepara 1887 itu belajar di Universitas Leiden dan lulus sebagai sarjana ilmu Kebudayaan Timur. Dengan setia, Eyang Sosrokartono menghayati kearifan lokal Kejawen, kendati secara intelektual beliau luar biasa cerdas. Buktinya, saat belajar di Leiden, beliau menguasai 26 bahasa, yakni 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Eropa. Bahkan, di Eropa, beliau dikenal sebagai “Prince of Java” (Pangeran Jawa). Pada masa Perang Dunia I, beliau menjadi wartawan perang untuk New York Herald Tribune. Setelah pulang ke Tanah Air, beliau menjadi guru Taman Siswa dan mengajarkan kearifan lokal Kejawen.

Referensi pihak ketiga
Melalui kearifan lokal sebagaimana kita kutip dalam artikel ini, beliau mengajak siapa saja untuk menjaga kesatuan rasa, cipta, karsa dan karya. Setiap manusia, apa pun agama dan kepercayaannya, wajib menjaga kesatuan rasa, cipta, karsa dan karya agar menjadi manusia seutuhnya yang berguna dalam kehidupannya. Itulah yang beliau rumuskan dalam ilmu Catur Murti (= Kesatuan Empat Unsur), yakni rasa, cipta, karsa dan karya. Nah salah satu bagian dari Catur Murti yang sangat populer adalah falsafah sebagaimana saya kutip dalam artikel ini.
“Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tanpa susah, tan ana bungah. Anteng mantheng, sugeng jeneng, durung unggul yean ora wani asor, dhurung gedhe yen ora wani cilik.”
Jatidiri manusia yang utuh dalam rasa, cipta, karsa dan karya itu telah mampu menghayati kehidupan yang kaya tanpa mengandalkan berharta dunia. Ia sakti tanpa jimat selain iman, harapan dan kasih. Ia tak pernah menyerbu sesama dengan kekuatan fisik apalagi dengan kekerasan sehingga mencapai kemenangan tanpa harus mengalahkan lawan. Ia bisa menerima segala sesuatunya dengan pasrah. Hidupnya hening tanpa pamrih dan tanpa rasa takut. Maka ia tak pernah nyinyir apalagi baper. Ia dalam keabadian tanpa duka dan pula tanpa suka ria yang berlebihan alias dalam kesederhanaan. Ia selalu tenang menghadapi setiap masalah, bahkan cenderung mengalah, sebab mengalah adalah tanda kemenangan. Ia membiarkan orang lain menjadi besar, sementara dirinya sendiri semakin kecil. Itulah prinsip kerendahan hati dalam melayani kesejahteraan orang lain.

Referensi pihak ketiga
Sangat mendalam bukan? Orang-orang yang bisa menghayati kearifan lokal seperti itulah yang kita butuhkan saat ini untuk kepentingan apa saja. Mari kita belajar menghayatinya pula sehingga mampu mewujudkan peradaban kasih dalam kehidupan bersama. Terima kasih. Salam peradaban kasih. Tuhan memberkati kita. semua.***