Sahabat Peradaban Kasih yang terkasih. Dalam kearifan lokal mana pun, juga di falsafah Jawa, ada yang disebut kasekten. Apa maksudnya dan bagaimana harus menyikapinya?

Referensi pihak ketiga
Kasekten dalam bahasa Indonesia disebut kesaktian. Ada ungkapan sekti mandra guna. Orang disebut sekti mandra guna karena kebal terhadap serangan apa pun. Segala serangan guna-guna tak akan mempan tertuju padanya. Bahkan bisa-bisa kembali laksana bumerang mengenai si pemberi guna-guna. Hebat bukan?
Biasanya orang yang seki mandra guna itu justru diam, rendah hati dan dengan kesaktiannya, ia menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya tanpa harus melukai dan menyakiti siapa pun. Kesaktian yang ada padanya diterima sebagai anugerah, bukan sebagai usahanya sendiri. Ia juga tidak pernah pamer kesaktian itu di hadapan publik. Mengapa?

Referensi pihak ketiga
Jawabannya ada pada rumusan kearifan lokal ini. Ia menyadari bahwa ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake. Tak ada kesaktian yang menyamai takdir Tuhan, sebab takdir itu tidak ada yang bisa membatalkan. Kesaktian itu bisa pudar dan batal saat takdir Tuhan menghendakinya. Itulah sebabnya, orang tidak pernah menyebut dirinya sakti. Tapi orang lain melihat, merasakan dan mengalami daya kesaktiannya, meski yang bersangkutan tidak pernah mengatakannya. Bahkan, saat orang lain mengetahui, merasakan dan mengalami kesaktiannya, ia tetap diam dan merendah sebab semua itu berasal dari Tuhan.

Referensi pihak ketiga
Begitulah Sahabat, makna kearifan lokal ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake. Tak ada kesaktian yang menyamai takdir Tuhan, sebab takdir itu tidak ada yang bisa membatalkan. Semoga bermanfaat. Terima kasih. Salam peradaban kasih. Tuhan memberkati kita semua.***