Halo Sahabat Peradaban Kasih yang terkasih. Memberi inspirasi dan motivasi dalam rangka semangat nasionalisme bisa dilakukan secara kreatif oleh lelaki pemburu peradaban kasih ini. Inilah yang dilakukannya dalam debur ombak semangat menggelorakan rasa cinta pada Tanah Air, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada-ada saja kreasi dan kreativitas yang dibuatnya bersama dengan para seniman, budayawan dan siapa saja yang mencintai negeri ini.

Referensi pihak ketiga
Masih dalam rangka Panorama Mural Pancasila itu, ternyata ada satu hal yang unik yang terjadi yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu mempersiapkan lima kendi yang terbuat dari tanah. Kendi itu lantas diisi dengan air. Jumlah kendi sebanyak lima buah, mengacu pada Pancasila dengan lima sila.
Kendi itu terbuat dari tanah dan diisi dengan air. Perpaduannya menjadi Tanah Air. Pralambang Indonesia sebagai Tanah Air kita yang harus dihiasi oleh kesejukan, kesejahteraan dan kehidupan bersama.
Air yang dituangkan ke dalam kendi pagi itu bukan sembarang air.
“Kita ambil air dari Sungai Kaligarang. Air itu kita mohonkan berkat melalui doa para tokoh lintas agama. Lalu air kita tuang kembali ke Sungai Kaligarang dengan harapan agar Sungai pun bisa menjadi berkat bagi umat dan masyarakat dan bukan menjadi sumber musibah akibat banjir!” jelas lelaki itu kepada Lukawi dan Sutikno. Lukawi adalah sosok yang sangat cinta ekologis. Pasti ayah dari dua anak satu istri itu menangkap pesan yang disampaikan lelaki itu. Apalagi, Lukawi sudah bersama lelaki itu malang melintang terjun dalam pelayanan selama hampir lima belas tahun. Bahkan, hanya sekadar mengedipkan mata saja, Lukawi sudah paham yang dikehendaki lelaki itu dalam rangka peradaban kasih bagi masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agama dan kepercayaannya.
Bahkan, Lukawi sudah sangat berkembang dalam rangka peradaban kasih interreligius dan ekumenis, serta peradaban kasih ekologis yang juga dikembangkannya dalam banyak kesempatan. Karenanya, dengan sigap, Lukawi dan Soetikno langsung berburu air ke Sungai Kaligarang yang berada di area TInjomoyo, dekat Padepokan Pastoran JoharT Wurlirang, tempat lelaki itu sementara ini tinggal.
Ya, lelaki itu memang tidak pernah tinggal di satu tempat yang abadi. Ia berpindah-pindah seturut asas ketaatan kepada pimpinan. Maka, ia pun tak boleh lekat pada satu tempat melainkan selalu terbuka berkembang dan memperkembangkan diri bersama siapa saja dan di mana saja. Sekali lagi, semua seturut dengan asas ketaatan ilahi bukan pada keinginan pribadi. Itulah salah satu keunikan hidup lelaki pemburu peradaban kasih itu bersama para rekan sejawat dan sesyahwat. Bagaikan angin, ia bergerak ke arah ke mana pun hembusan Roh meniup dan menawannya dalam spiritualitas ketaatan itu. Lengkapnya, taat, wadat, dan mlarat! Itu tiga pola spiritual yang sudah diikrarkan sejak awal mula ikat pinggang pelayanan dilingkarkan pada hidupnya dan siapa saja yang terpanggil dan terpilih untuk melakukannya, sebab memang banyak yang terpanggil namun sedikit saja yang terpilih!
“Semua kendi dan air sudah siap, apa yang akan kita buat?” tanya Lukawi kepada lelaki itu.
“Mari kita satukan hati dalam doa. Dan doa akan dipimpin oleh minimal tiga unsur lintas agama yang ada saat ini!” jawab lelaki itu.
Begitulah, tiga tokoh lintas agama dari Islam. Buddha dan Kristen melangitkan doa untuk air dari Sungai Kaligarang yang akan dituangkan kembali kembali ke Sungai Kaligarang itu agar menjadi berkat bagi masyarakat. Sesudah doa dilangitkan, arak-arakan perjalanan dari halaman padepokan menuju Sungai Kaligarang pun dilakukan. Arak-arakan diawali dengan nyanyian Ibu Pertiwi dilanjutkan dengan doa UntukMu Indonesia dalam lagu yang diciptakan lelaki itu sendiri lantas disambung dengan nyanyian kebangsaan sepanjang perjalanan sekitar satu setengah kilometer panjangnya berjalan turun ke arah sungai melintasi perbukitan Tinjomoyo di antara pohon-pohon yang agak kersang sejak terjadi kemarau panjang.
DI sungai itu, selain menuang air yang sudah diberkati dalam doa tiga tokoh lintas agama tadi, lelaki itu bersama semua rombongan beramai-ramai dalam sukacita dan bahagia menaburkan lima ribu bibit ikan Nila ke dalam sungai itu. Ikan-ikan yang ditampung di dalam lima plastik dan lalu ditaburkan ke dalam sungai itu langsung menari merdeka berenang menikmati air tenang di setiap tepian sungai. Asyik sekali mereka mengibas-kibaskan ekornya dan siripnya berkembang menari sukacita seakan terbebaskan dari belenggu air dalam plastik yang pengap dan menikmati kemerdekaan air sungai yang jernih bening itu. Semoga menjadi besar dan beranak pinak menjadi manfaat bagi masyarakat yang pada suatu saat ini hendak memancing mereka.
Sungai-sungai semoga jernih bersih menjadi sumber berkat bagi masyarakat. Wahai masyarakat, jagalah sungai-sungai jangan buang sampah sembarangan ke dalam sungai agar sungai pun menjadi berkat bagi masyarakat. Jangan biarkan sungai-sungai meluapkan banjir yang menerjang. Rawatlah sungai-sungai dengan cinta dan sungai-sungai pun akan mengalirkan cinta yang bening dan jernih bagi siapa saja yang berada di sekitarnya. Sungai-sungai mengalirlah dengan cinta tanpa henti menjadi berkat bagi anak-anak negeri. Anak-anak negeri, jangan rusak sungai-sungai dengan perilaku tak beradab. Biarlah sungai mengalirkan cinta untuk cinta!
Lelaki itu pun berseru puitik tentang sungai di dalam hatinya yang bahagia boleh melakukan ritual ekologis sederhana dalam rangka Merti Bumi NKRI Panorama Mural Pancasila. Sesudah itu, ia kembali naik menuju padepokannya untuk menyemangati para pelukis yang sedang menggoreskan warna-warni cat minyak pada triplek yang sudah disediakan seluas 920 meter persegi itu.
Para pelukis itu masih bersemangat berkarya meski sinar panas matahari menyengat tubuh mereka! Mereka berkarya dengan bahagia dan sucacita, demi mewartakan semangat Pancasila merawat jiwa nasionalis bersama para pelukis!
Dan, mengenang semua itu di malam peralihan 2018 menuju 2019, lelaki itu tanpa terasa meluap pula dalam rasa bahagia mengenang gerakan itu meski sederhana. Yang sederhana itu dilemparkan laksana kerikil kecil di tengah kolam kehidupan semoga menimbulkan gerak gelombang yang kian melebar dan melebar membuat bunga-bunga peradaban kasih kian hari kian mekar! (bersambung)
Kampus Ungu Soegijapranata, 23/1/2019
»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̈̊•Ɓέяќǎђ•Đǎlєm•✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶
Sumber: refleksi pengalaman pribadi dalam narasi
Sumber https://idstory.ucnews.ucweb.com/story/206401788316236?uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvnwpflameefutch&url_from=wmconstomerwebsite&stat_entry=personal&comment_stat=1