
Pastor Hieronimus Sridanto Aribowo Nataantaka.
[HIDUP/Christophorus Marimin]
HIDUPKATOLIK.com – Gereja merangkul semua. Gereja tidak pernah menolak umat yang memakai mantilla. Namun, penggunaan mantilla dalam upacara liturgi bukanlah hal yang wajib.
Gereja Katolik adalah Ecclesia semper reformanda,Gereja yang selalu membarui diri. Begitu pula liturgi yang senantiasa membarui diri. Gereja Katolik juga sesuatu yang universal. Ia merangkul semua, dari umat yang amat tradisional sampai umat yang paling liberal. Gereja selalu menjadi “ibu” yang berjalan di tengah.
Tradisi pemakaian mantilla pernah hidup dalam Gereja Katolik, terutama pra Konsili Vatikan II. Bahkan, pemakaian mantilla bagi umat perempuan pernah menjadi kewajiban. Namun, seiring perkembangan zaman dan dalam semangat pembaruan Gereja, pemakaian mantilla tak lagi menjadi kewajiban.
Menurut Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta Romo Hieronimus Sridanto Aribowo Nataantaka, Gereja tak pernah melarang pemakaian mantilla, tapi juga tidak mewajibkannya. Berikut petikan wawancara dengan imam kelahiran Semarang, Jawa Tengah 2 Oktober 1969 yang kini juga berkarya sebagai Pastor Rekan di Paroki St Laurensius Alam Sutera, Tangerang:
Apa tanggapan Romo terhadap umat yang menggunakan mantilla?
Umat yang menggunakan mantilla saat upacara liturgi atau doa pribadi tidak salah. Itu merupakan penghayatan iman secara pribadi. Gereja tak melarang. Namun, menurut saya yang paling penting, bagi umat yang memakai mantilla mesti bisa mempertanggungjawabkan iman yang ia hayati. Mungkin dengan memakai mantilla, umat tersebut dapat semakin menghayati imannya, ya silakan saja!
Sementara, umat yang tak memakai mantilla juga tidak apa-apa, karena mungkin mantilla bagi umat yang tidak memakai sudah tidak berbicara apa-apa lagi. Bisa jadi, pada masa kini, simbol mantilla tak lagi menemukan makna iman. Dan secara pribadi, saya tidak pernah menganjurkan umat memakai mantilla.
Ada pro dan kontra tentang pemakaian mantilla. Apa yang mesti dilakukan?
Nah, dalam hal ini yang paling penting adalah katekese. Katekese yang bisa menjelaskan mantilla. Mungkin umat yang tak memakai mantilla tidak tahu arti dan makna mantilla. Sementara, umat yang memakai mantilla belum berupaya menjelaskan kepada umat yang lain.
Katekese diperlukan agar umat tak jatuh kepada rumusan yang hitam atau putih, yang boleh atau tidak boleh. Dalam katekese, yang penting umat mampu menangkap tradisi dan ajaran Gereja sebagai penghayatan iman. Selain itu, katekese juga senantiasa membawa umat kepada kesadaran sebagai sebuah communio dan Gereja yang mempersatukan.
Pemakaian mantilla bisa membuat umat berpakaian lebih sopan ketika perayaan Ekaristi. Menurut Romo?
Mungkin betul, tapi Katekismus Gereja juga mengatakan bahwa dalam upacara liturgi, umat mesti berpakaian yang pantas dan layak. Ukuran layak dan pantas memang tak dijelaskan secara rinci. Layak dan pantas ini normatif, artinya sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Menurut Romo, mantilla ini simbol apa?
Mantilla itu simbol kesucian. Kesucian diartikan sebagai kemurnian, kesederhanaan, atau kerendahan hati. Dalam tradisi Gereja Barat saat perayaan perkawinan, mempelai perempuan menggunakan kerudung semacam mantilla. Namun jika mempelai perempuan seorang janda ditinggal mati suami, biasanya tidak mengenakan kerudung. Dalam konteks liturgi, mantilla menjadi simbol kesucian, kemurnian.
Apakah pemakaian mantilla bisa menjadi sekadar tren fashion belaka?
Bisa, jika umat yang memakai tidak tahu arti simbol tersebut. Simbol itu mesti dimengerti dan dihayati, tidak sekadar pakai. Simbol juga mesti tercermin dalam ucapan dan tindakan, dalam membangun persaudaraan sejati dan perdamaian dengan sesama. Itulah mantilla yang sesungguhnya. Ketika simbol hanya menjadi simbol dan tidak berbicara dalam hidup, maka ia menjadi simbol yang mati.
Y. Prayogo