Sahabat Peradaban Kasih yang terkasih. Terlambat bertobat masihkah bermanfaat? Menarik sekali yang diwartakan dalam Injil hari Minggu, 29/9/2019. Orang yang hidupnya berlimpah di dunia namun susah sesudah kematiannya itu sadar dan seakan bertobat meski sudah terlambat.

Referensi pihak ketiga
Bagaimanapun, dia menerima nasibnya dengan lemah lembut. Dia tidak meminta untuk dibebaskan dari neraka; dia hanya meminta setetes air untuk memuaskan dahaganya. Dan ketika dia tidak bisa mendapatkan kelegaan yang diharapkannya itu, dia memohon seorang utusan khusus dengan harapan bisa menyelamatkan saudara-saudaranya dari nasib yang sama.

Referensi pihak ketiga
Dia setidaknya memikirkan kesejahteraan orang lain. Namun, semua kebaikan itu tidak menyelamatkannya dari hukuman abadi. Apakah saya pernah berpikir bahwa menjadi orang yang “baik” akan membawa saya ke surga? Mungkinkah saya menggunakan standar saya untuk menilai kelayakan saya, daripada menggunakan standar Tuhan?

Referensi pihak ketiga
Bagaimana menurutmu? Semoga refleksi sederhana ini memberi inspirasi dan bermanfaat. Terima kasih berkenan membaca refleksi ini. Tuhan memberkati. Salam peradaban kasih.***
JoharT Wurlirang, 29/9/2019
»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̈̊•Ɓέяќǎђ•Đǎlєm•✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶
Sumber: refleksi pribadi berdasarkan Bacaan Liturgi 29 September 2019 Hari Biasa, Minggu Pekan Biasa XXVI, Bacaan Injil Lukas 16:19-31